Therapeutic part #2

*Inspired from ‘Bowl of Oranges’ lyrics by Bright Eyes (‘LIFTED or The Story Is In The Soil, Keep Your Ear To The Ground’ album)*

“Akhirnya saya melanjutkan berjalan menyusuri jalanan itu…” Connor melanjutkan, “Tak lama kemudian di sebelah kanan di antara deretan toko saya melihat sebuah klinik kecil yang serasa menarik saya untuk masuk ke dalamnya. Setelah masuk saya, disambut oleh seorang dokter tua yang senyumnya sangat hangat. Belum sempat saya berkata apa-apa, dia sudah menarik lengan saya dan mengajak saya untuk duduk di sebuah sofa kecil yang nyaman. Dokter tua itu berkata kepada saya bahwa ada sedikit kesedihan di hatinya, sedih karena dia merasa sudah sangat tua dan merasa waktunya akan tiba. Sedih karena ketika tiba waktunya, dia tidak dapat menolong orang-orang di sekitarnya lagi…”, aku bisa merasakan perasaan Connor ketika dia mendengar pernyataan itu, aku bisa melihat kesedihan Connor yang sedang membayangkan dokter tua itu di matanya. Aku seperti merasakan dokter itu agak kesepian, entahlah mungkin di kegiatan sehari-harinya yang menolong banyak orang, dia agak kelelahan dan mungkin agak kehilangan waktu untuk melakukan hal-hal sederhana untuk menghibur dirinya sendiri. Aku selalu berpikir bahwa pekerjaan yang sifatnya melayani orang lain, terutama yang berkaitan dengan kelangsungan hidup seorang manusia seperti dokter misalnya, pastilah amat sangat menguraas emosi, melihat orang menderita karena penyakit, mungkin terbayar dengan menyaksikan proses kesembuhan seseorang, tapi bagaimana jika pada akhirnya mereka tidak pulih? Bahkan kehilangan nyawanya?

“Dokter itu berkata kepada saya bahwa dia hanya butuh ditemani oleh saya sebentar saja. Saya bisa melihat memang kesehatan dokter itu sudah menurun, sedikit-sedikit ia terbatuk-batuk sambil bercerita, dan setelah batuk nafasnya menjadi terengah-engah. Tapi di tengah batuknya yang naik turun, dokter itu berkata kepada saya bahwa ‘tidak ada obat yang bisa mengalahkan khasiat kehadiran orang yang tulus memperhatikan kita, yang menemani kita, walaupun pada akhirnya kita mati, aku rasa hal terakhir yang akan kita lakukan sebelum mati adalah tersenyum mengetahui orang itu hadir untuk melengkapi kebutuhan kita. Dia melengkapi kebutuhanku akan keikhlasan, dan aku melengkapi kebutuhannya akan perasaan bermakna’, sungguh kalimat dokter itu begitu membuat saya…entahlah…dan tanpa sadar saya hanya menanggapi kalimatnya itu dengan senyum yang entah datang darimana”.

———————————–

“Sebelum kami berpisah, dokter itu berkata ‘aku tidak mengenalmu sama sekali anak muda, tapi terima kasih untuk sedikit waktumu, dan sedikit senyumanmu yang tulus’, dan saya hanya bisa membalas dengan terima kasih karena dokter itu telah membuat saya merasa lebih berharga”.

———————————–

Sejujurnya, pada titik ini, aku tidak peduli apakah cerita yang diceritakan Connor adalah sesuatu yang dia alami atau hanya dalam mimpinya…atau bahkan hanya bualannya. Bahkan jika itu hanyalah bualan, kisah pertemuannya dengan dokter tua itu bukanlah bualan yang kosong. “Sejak saat itu, saya kira saya menjadi sadar, mungkin bisa dibilang menjadi lebih dewasa…pada dasarnya manusia itu makhluk paradoks, jika anda percaya teori evolusi, otak reptil kita kadang bisa membuat kita serakah, namun kita juga punya urge akan belas kasih bukan? Saya semakin mencoba untuk berdamai dengan diri saya. Saya, anda dan manusia lain adalah makhluk yang selalu kesepian. Kita haus akan arti, haus akan makna. Ketika merasa kurang bermakna mungkin kita akan menangis, bagi saya tak apa. Menangislah, rasakan kesedihan anda, mungkin ada baiknya jangan dilawan. Mungkin dengan lebih sering berdamai dengan kesedihan kita sendiri, kita bisa lebih peka terhadap kesedihan sekitar. Mungkin jika seorang pasien kanker merasa perlu menangis karena takut akan kematian, mungkin tak perlu kita menghadangnya dengan kalimat-kalimat positif. Mungkin dia memang hanya ingin membagi ketakutannya dengan kita dan setelah itu merasa lebih baik? Mungkin”.

 ———————————–

“Menangislah. Larutlah dalam kesedihan anda. Kemudian balutlah dengan doa akan harapan”.

 ———————————–

“Terima kasih Connor! Lagu anda sendiri sudah sangat menkjubkan saya ketika mendengarnya…sekarang saya bisa sedikit berdiskusi langsung dengan anda, sedalam ini walaupun sebentar…ah entah, apa yang bisa saya lakukan untuk berterima kasih…”

“Apakah anda sadar, kita berdua sedang memerankan adegan ‘Connor-dan-dokter’? Namun kini saya yang menjadi dokternya dan anda adalah saya…”


About this entry