27

*Inspired from ‘Smile’ lyrics by Weezer (The Green Album)*

Saat itu tanganku serasa kram, kram karena menggenggam teleponku sangat erat. Ingin rasanya kubanting dan kubuang jauh untuk melapiaskan amarahku. Aku marah…aku begitu marah, marah mendengar sebuah kebodohan, sebuah kecerobohan, dan sebuah cerita naif dari suaramu. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan caramu berpikir. Semua terasa hancur begitu saja, dalam sekejap kamu bisa langsung menghancurkan semua semangatku.

Setelah itu yang ada di perasaanku hanyalah ingin mengenyahkan dirimu dari ingatanku, aku ingin masa bodo dengan dirimu. Aku ingin meninggalkanmu saat itu juga. Ego-ku berkata “tidak rela!”. Dan seperti yang kamu tau, aku selalu bergulat, bergulat dengan pikiranku sendiri. Saat itu diriku terbagi entah menjadi beberapa bagian, dan semuanya saling bertentangan. Ada sedikit rasa ingin menikam seseorang yang jauh disana dengan sebuah belati yang tajam, supaya dia berkenalan dengan malaikat maut. Atau mungkin aku bisa menembak sebuah peluru panas ke tengkorak kepalanya sampai pecah dan otaknya terburai keluar. Entahlah, aku tidak tahu.

Saat amarahku memuncak seperti itu, diriku yang dulu menyeruak keluar dari celah-celah sempit tulang-tulangku. Sifat anarkis, sifat ingin melukai, sifat nekat itu hampir keluar dan meledak begitu saja. Kalau kau ingat, saat-saat itu mungkin nada suaraku begitu dingin, kaku dan berjarak. Namun aku memutuskan untuk tidak meneruskan semuanya, aku memutuskan untuk menahan diri, aku memutuskan untuk belajar mengendalikan diriku sendiri, bukankah itu janjiku kepadamu? Aku memutuskan untuk melupakan semuanya, tapi tidak termasuk dirimu. Aku mulai belajar menerima.

Sulit kurasakan. Tapi bukan hal yang mustahil.

Saat semua sudah mereda, saat aku mulai bisa menarik nafas panjang, aku mulai bisa melihat dirimu dengan lebih jelas. Aku kembali mulai memikirkan kamu. Aku sadar, saat itu kamu membutuhkan aku. Aku sadar, kamu sedang melalui masa yang sulit. Aku sadar, jika aku lari meninggalkan dirimu, aku tak ubahnya bajingan-bajingan lain yang ada di dunia ini. Aku sadar, kamu butuh seseorang untuk selalu ada di sampingmu, seseorang yang jauh lebih bijaksana dalam sikap, dewasa dalam mengambil langkah, dan aku sadar, kamu mengharapkan itu adalah aku. Aku sadar, kamu berharap bahwa saat itu aku tidak menjadi pengecut yang kerdil hatinya dan kemudian dengan mudah saja meninggalkanmu.

Aku ingat lagi dirimu dengan lebih dalam.

Kamu ingin aku untuk menjagamu selalu, seperti yang selalu kamu bilang kepadaku. Kata-katamu seperti mendobrak pintu yang terkunci rapat…mendobrak dengan kuat. Memaksa mengisi ruang dengan ketulusan. Memaksa mengisi ruang dengan maaf. Memaksa mengisi ruang dengan pengertian. Memaksa mengisi ruang dengan penerimaan. Ya aku tahu, kamu sedang bersedih, aku sedang bersedih, kita sedang menangis. Ingat kamu menangis, sekaligus membuat ingat kamu tersenyum.

Aku ingat, menjadi marah itu begitu mudah, itu tidak perlu ilmu. Menjadi ikhlas itu yang tersulit. Aku memilih jalan yang sulit. Mungkin di ujung jalan yang sulit itu aku bisa melihat kaki pelangi yang cerah, namun saat memliih jalan itu aku baru sadar bahwa alas kakiku sudah sangat tipis, karena sudah begitu lama aku berjalan kesana kemari tanpa arah, melewati berbagai macam hal…ya, aku bisa merasakan batuan-batuan yang keras di telapak kakiku, jalannya tidak mudah dan jauh, tapi pada akhirnya aku memilih jalan itu. Aku berharap di ujung sana aku bisa bertemu kamu, hanya itu.

Aku tidak bisa terlalu lama meninggalkanmu, aku baru sadar itu. Karena aku terlalu rindu melihat lengkungan tipis senyum kamu.


About this entry