Patience is a virtue

*Inspired from ‘Please Be Patient With Me’ by Wilco (Sky Blue Sky)*

There’s a part of your life you go through that you just don’t know where you are…you could be anywhere, anything could be happening, hopefully you wake up and there’s somebody that you can trust next to you, and they’ve been there…

-Jeff Tweedy of Wilco

Ya aku tahu, aku sudah sering mendengar, melihat dan beberapa orang pernah berkata kepadaku bahwa “sangat sulit rasanya mencintai seseorang dan tidak mendapatkan hal yang sama dari orang tersebut”. Tapi ada perasaan dalam diriku yang sedikit memberontak, “Pernahkah kalian merasakan kisah tersebut dari sisi yang sebaliknya? Tahukah kalian rasanya? Sulitnya ada di posisi itu?”. Kebanyakan orang akan berkata, cinta yang tulus adalah mendahulukan kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaan kita, kepada siapapun itu. Bagaimana jika kita adalah ‘orang lain’ itu, yang kebahagiaan kita diutamakan daripada yang lain? Aku pikir banyak orang lupa bahwa ada perasaan tidak menyenangkan juga ketika kita merasa begitu sayang kepada orang lain, tetapi kita juga tahu bahwa kita tidak akan pernah mampu menyamai kasih sayang mereka yang terus mengalir kepada kita. Aku yakin, orang seperti aku, yang sedang merasakan perasaan seperti aku pasti akan dengan mudahnya dicap sebagai egois. Tetapi apakah ketika kita adalah sumber kebahagiannya, dia mencintai kita, dan dia tidak pernah keberatan ketika mengetahui bahwa posisi dia tidak berada di prioritas utama kita, apakah hal tersebut tetap egois? Sering kita, aku dan kamu, disarankan untuk tidak menggantungkan kebahagiaan kepada seseorang yang dianggap belum dewasa, yang setiap hari terus berubah pikiran dan perasaannya. Tetapi jika orang lain menggantungkan kebahagiaannya kepada orang yang belum dewasa seperti aku misalnya, apa yang sebaiknya aku lakukan?

Aku jatuh hati kepadanya, dan aku tahu, dia juga jatuh hati kepadaku. Tetapi saat ini aku belum memprioritaskan dia sebagaimana dia memprioritaskan aku. Dia bukan prioritas, mungkin belum, aku tak tahu, tapi dia juga bukan orang yang mudah disingkirkan dan dilupakan begitu saja untukku. Bagiku dia adalah perasaan aman ketika aku merasa bingung dan gamang. Dia adalah orang yang, tanpa ragu, akan “selalu ada untukku” karena aku yakin akan perasaan dia untukku. Aku sangat sadar bahwa dia adalah orang yang pantas untuk dijaga, untuk dijadikan pasangan. Sangat jelas bagiku bahwa dia adalah orang yang cocok untuk posisi itu. Bagiku, dia adalah sosok yang selama ini aku idamkan, dan dia sempurna dengan ketidaksempurnaannya. Dia selalu memperlakukan aku seperti sebagaimana aku bermimpi ingin diperlakukan. Aku selalu berterima kasih kepadanya. Hanya berterima kasih. Hari-hari seperti itu aku habiskan dengan perasaan bahwa aku adalah monster, dan mungkin memang benar. Aku monster yang memakan habis perasaannya.

Mungkin aku pernah merasa khawatir bahwa aku telah dan akan menciptakan image tentang kesempurnaan yang salah, yang semu di pikirannya. Aku membuat dia merasa bahwa dia sangat beruntung memiliki aku, namun aku sadar, pada kenyataannya, aku yang beruntung memiliki dia. Aku sadar mungkin sampai saat ini, hanya dialah yang mampu menghadapi aku dengan segala kompleksitas yang aku miliki, hanya dia yang mampu menghadapi dengan baik dan sabar. Aku merasa bersalah setiap hari, dan aku sadar sudah sepantasnya aku memberikan hal yang sama kepadanya. Memberikan juga apa yang dia berikan kepadaku. Tapi aku belum mampu. Dia sangat penting bagiku, tetapi bagaimanapun pentingnya dia, selalu ada yang lebih penting dari dia. Beberapa waktu, aku bisa menerima. Namun beberapa waktu, sulit menerimanya. Rasanya semakin lama waktu yang aku habisakan dengan dia, semakin jauh rasanya dia jatuh ke bawah di dalam urutan hal-hal yang aku anggap penting dalam hidupku. Jelas aku mengutamakan keluargaku, pendidikan dan karierku, dan beberapa hal lainnya yang kadang aku juga kurang yakin. Tapi aku sadar, dia tidak akan, setidaknya belum, menempati tempat teratas. Ketika dia berkata bahwa dia membutuhkan aku, apakah dia benar-benar membutuhkan aku? Atau mungkinkah dia hanya sekedar membutuhkan ide tentang memiliki orang lain? Walaupun aku mungkin tidak dapat membalasnya, bukan berarti aku tidak sayang kepadanya. Tetapi selalu ada perasaan bahwa aku tidaklah pantas untuk orang yang mencintaiku dengan tulus, termasuk dia.

Aku sering berpikir bahwa aku hanya menjadi racun untuknya, walaupun dia berkata bahwa “kamu adalah hal terbaik yang pernah aku alami”, pikiran seperti itu tetap saja selalu menghantuiku. Aku peduli kepadanya, aku juga menyayangi dia, tapi rasanya dia selalu lebih…lebih sayang dan lebih peduli. Aku merasa tidak akan pernah bisa menyamai kasih sayangnya, dan itu sangat menggangguku dan membuatku merasa kasihan kepadanya. Lebih parahnya lagi, saat aku sedang negatif-negatifnya, aku jadi sering bertanya-tanya “jangan-jangan, aku hanya memanfaatkan dia?”. Aku semakin merasa tertekan ketika dia tetap baik dan peduli kepadaku bahkan diwaktu aku begitu menyebalkannya bagi dia, dia selalu begitu mudah memaafkan aku. Aku begitu sadar aku akan sangat menyakitinya jika aku memilih harus meninggalkannya. Pada kenyataannya, aku sangat tidak ingin meninggalkannya, tetapi terkadang aku berpikir bahwa dia seharusnya memiliki orang lain yang jauh lebih baik dari diriku. Dia pantas mendapatkan orang yang mau menempatkan dia di prioritas utama, karena kebaikannya, dia memang pantas berada disitu, di posisi teratas.Dia pantas mendapatkan seseorang yang bersedia melakukan apapun untuk membuatnya bahagia. Dia pantas mendapatkan apa yang tidak dapat aku berikan. Aku selalu ingin yang terbaik untuk dirinya, dan sejujurnya aku sering berpikir bahwa itu bukanlah diriku. Walaupun begitu menyakitkan, tapi itulah kenyataannya…sepertinya. Aku sadar bahwa mungkin hal terbaik yang dapat aku berikan adalah membiarkannya pergi dan mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya ia dapatkan, bukan hanya sekedar kebahagiaan ilusif yang dia dapat dariku. Tapi aku tidak dapat melakukan hal itu. Aku tidak dapat, dan tidak mau membayangkan dia bahagia dengan orang lain selain diriku.

Ataukah…

Mungkin aku harus mulai menyadari pentingnya memberikan semua yang aku punya untuk orang lain yang pantas mendapatkannya? Seperti yang setiap saat dia ajarkan kepadaku melalui bagaimana ia memperlakukanku. Mungkinkah aku harus mulai mencari, menyelam ke dalam diriku, mencari bagian dari diriku yang mampu menyayangi, benar-benar menyayangi dengan dalam dan tulus? Mungkin aku harus belajar bahwa menyayangi seseorang adalah selalu berusaha memberikan lebih dari yang aku miliki, dengan begitu secara otomatis aku akan selalu berusaha pula meningkatkan dan melebihkan diriku. Namun pada akhirnya, sepertinya pilihan yang aku punya saat ini adalah memberikan dia kesempatan untuk menentukan pilihan, untuk memutuskan. Dan jika dia tetap memutuskan untuk memilihku, dia tetap secara sadar, sepenuh hati, jujur dan tulus yakin bahwa akulah orang yang benar-benar mampu membuat dia bahagia, mungkin memang sebaiknya aku mencoba memberikan apa yang pantas ia dapatkan. Mungkin aku harus mulai menyadari pentingnya untuk tidak selalu mementingkan diri dan perasaan sendiri, dan mulai menyelam dan mencari bagian dari diriku yang mampu untuk melakukan itu. Belajar untuk menyayangi…lagi. Atau setidaknya…mencoba.


About this entry